28 Maret 2008

FAQ AAC 1 : Pernikahan dengan Non Muslim

Film ini sukses luar biasa nggak hanya di dalam negeri (saat ini udah lebih dari 3 juta penonton), tapi juga di negara0negara tetangga (Malaysia, Brunei, Singapura). Karenanya nggak aneh jika Film ini jadi perbincangan hangat termasuk beberapa masalah Fiqh di dalamnya.

Ini adalah salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan perihal Film AAC :
1. Boleh nggak Fahri menikahi Maria yang Non Muslim?
2. Apakah syah pernikahan yang dilakukan dalam keadaan mempelai wanita nggak sadar (koma)?

Berikut ini jawaban lengkap dari ustad Sarwat, yang mengasuh rubrik ustad
menjawab di eramuslim.com


Ustadz Menjawabbersama Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc.

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Seperti yang saya lihat di film Ayat-ayat Cinta, ada adegan si lelaki
menikahi wanita yang sedang tergeletak tak sadarkan diri karena sakit parah
(koma). Apakah sah nikahnya? Karena si wanita pasti tidak sadar bahwa dia
sedang dinikahkan dan meskipun mungkin mencintai tapi belum tentu dia mau
menikah dengan lelaki tersebut.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
SHB


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebagaimana kita ketahui bahwa akad nikah dalam syariah Islam adalah akad
yangterjadi antara seorang ayah dengan laki-laki yang anak menjadi menantunya.
Sang Ayah mengucapkan ijab, yaitu lafadz yang intinya beliau menikahkan si
calon menantu dengan anak gadisnya. Dan si calon menantu akan mengucapkan
lafadz qabul, yang intinya adalahpersetujuan atas ijab tersebut.
Kalau ijab dan qabul itu terjadi dan disaksikan oleh minimal dua orang
laki-laki yang muslim, baligh, aqil, merdeka, dan adil, maka akan nikah itu
sah.

Lalu bagaimana dengan si gadis? Tidak adakah peranan yang dimilikinya?
Tidakkah si gadis itu harus dimintai persetujuanya?

Dalam hukum seorang gadis dengan ayah kandungnya, kita mengenal istilah wali
mujbir, yaitu wali yang punya hak sepenuhnya atas diri seorang gadis. Dari
sekian deret orang yang berwenang menjadi wali, yang posisinya sampai berhak
'memaksa' hanyalah ayah dan kakek (ayahnya ayah).

Dan kewenangan wali mujbir memang sampai bisa menikahkan si anak gadis,
dengan atau tanpa persetujuanya. Setidaknya, akad yang dilakukan oleh seorang
wali mujbir itu hukumnya sah.

Namun lepas dari hukum sah atau tidaknya, tentu saja seorang ayah yang
melakukan perbuatan pemaksaan terhadap anak gadisnya, dia juga akan ditanya di
sisi Allah atas kesewenangan dan kezhalimannya.

Jadi mohon dibedakan dulu antara kewenangan dan kesewenang-wenangan.
Keduanya mungkin saja terjadi. Kewenangan adalah hak dalam hukum, namun
kesenang-wenangan adalah tindakan yang zhalim.

Sebagai ilustrasi, secara ketentuan almamater, seorang dosen punya
kewenangan untuk memberi nilai secara subjektf kepada mahasiswanya. Dia bisa
memberi A atau E, semua adalah kewenangan dosen. Bahkan pak Rektor pun tidak
hak untuk mencampuri hak atau kewenangan ini.

Namun di sisi lain, bila seorang mahasiswa diberi nilai E oleh seorang dosen
secara zhalim, padahal mahasiswa itu berhak dapat A, maka kita katakan bahwa
dosen ini telah berlaku sewenang-wenang.

Tapi apakah bisa diubah kewenangannya? Tentu tetap tidak bisa, kecuali bila
dosen itu sendiri yang mengubah keputusannya.

Demikian juga dengan kewenangan seorang wali mujbir, dia berhak menikahkan
anak gadisnya dengan atas persetujuan atau tidak sama sekali. Juga berhak
menikahkannya dengan sepengetahuan anak gadisnya atau tidak sama sekali.
Lalu solusi apa yang paling tepat?

Sederhana saja, seorang anak gadis seharusnya sangat dekat dengan ayahnya.
Sehingga sang ayah tidak perlu menggunakan hak preogratifnya dalam hal
menikahkan anak gadis itu. Biarkanlah anak gadis menjadi sangat dekat dengan
ayahnya, sehingga apa pun yang diinginkan oleh si gadis, ayahnya akan memenuhinya,
termasuk dalam hal memilih calon suami.

Maka bagi seorang wanita muslimah yang aktifis, perlu diingat bahwa semua
aktifitas Anda menjadi seorang kader atau aktifis, akan menjadi sia-sia dan
tidak ada gunanya, manakala anda tidak mampu mengambil hati ayah kandung. Sebab
biar bagaimana pun, hak dan wewenang ayah kandung itu mutlak dibenarkan dalam
syariah Islam.

Kalau seorang wanita datang dengan calon suami ideal pilihannya, tapi sang
ayah masih menggeleng, jelas sudah siapa yang menang. Yang menang tentu saja
ayah, meski si gadis telah didukung oleh 1.000 ustadz atau ustadzah kondang
sekalipun.

Kembali kepada wanita yang sedang koma lalu dinikahkan oleh ayah kandungnya,
maka hukumnya sah. Karena persetujuan seorang pengantin wanita tidak termasuk
di dalam syarat sah sebuah akad nikah.


Menikahi Wanita Kristen

Mungkin setelah itu anda akan bertanya lagi, bagaimana hukumnya menikahi wanita
yang saat dinikahi agamanya masih kristen? Dan bagaimana pula status walinya,
apakah si ayah yang masih kristen itu juga bisa menjadi wali dalam akad nikah?
Bukankah syarat seorang wali harus beragama Islam?

Jawaban atas pernyataan itu adalah bahwa seorang laki-laki muslim memang
dibenarkan menikahi wanita ahli kitab. Dan hal itu ditetapkan lewat ayat
Al-Quran, sunnah nabawiyah dan juga amal (praktek) para shahabat nabi SAW.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang
diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.(QS. Al-Maidah: 5)

Dan khusus dalammasalah syarat wali nikah yang harus muslim, maka khusus
dalam kasus seorang wanita ahli kitab yang dinikahi seorang laki-laki muslim,
bila ayahnya masih yahudi atau nasrani, memang dibenarkan untuk menjadi wali.
Ini merupakan sebuah pengecualian yang bersifat kasuistik, tidak bisa
digeneralisir ke dalam kasus lainnya. Karena itu syarat keIslaman seorang wali
hanya berlaku manakala gadis yang dinikahi itu muslimah, kalau gadis itu ahli
ktiab, maka walinya boleh ahli kitab juga.


Siapakah Ahli Kitab?

Setiap membahas 'ahli kitab', biasanya selalu muncul diskusi dan pertanyaan
baru, siapakah yang dimaksud ahli kitab?

Memang kita akui ada sebagian kalangan yang mengataka bahwa ahli kitab itu
tidak ada lagi pada hari ini. Alasannya, Injil yang mereka pakai bukan lagi
Injil yang asli.

Demikian juga dengan aqidah mereka, sudah banyak yang menyimpang. Misalnya
paham trinitas yang dibawa oleh Paulus. Sehingga buat sebagian kalangan, wanita
kristen di hari ini tidak termasuk ahli kitab yang halal dinikahi.
Kami menjawab masalah ini dengan sebuah analogi. Kalau dikatakan bahwa agama
Kristen hari ini tidak termasuk ahli kitab, lantaran Injil mereka sudah tidak
asli lagi, bukankah Injil di masa Nabi Muhammad SAW pun sudah dipalsukan?
Bahkan sejak awal memang tidak ada Injil yang asli, bukan? Karena Injil tidak
pernah ditulis dan dijaga sebagaimana umat Islam menjaga Al-Quran.
Namun di masa Rasulullah SAW, para shahabat menikahi wanita ahli kitab.
Tidak peduli dan tidak ada kaitannya dengan kepalsuan Injil mereka. Mereka
tetap dikatakan ahli kitab dan statusnya kafir, justru lantaran mereka telah
memalsukan Injil.

Demikian juga, kalau dikatakan bahwa agama Kristen sekarang ini tidak layak
digolongkan sebagai ahli kitab karena telah berpaham trinitas, bukankah di masa
Rasulullah SAW mereka pun telah menyembah nabi Isa dan punya tiga tuhan?
Lalu apa bedanya Kritsten hari ini dengan Kristen di masa Nabi? Sama-sama
telah keluar dari aqidah dan syariah yang dibawa oleh Nabi Isa.

Maka menurut hemat kami, meski tetap menghormati segala perbedaan, wanitaKristen
pada hari ini tetap saja kita perlakukan sebagai ahli kitab,sebagaimana dahulu
Rasulullah SAW memperlakukannya. Mereka tidak kita sebutsebagai watsaniyyin
(penyembah berhala). Maka sembelihan mereka halaldan wanita mereka halal pula
untuk dinikahi.

Tapi tentu saja semua itu hanya merupakan tataran hukum dasar terkait denga
nhitam putihnya hukum. Sedangkandalam prakteknya, tentu saja masih ada seribu
pertimbangan lainnya untuk tidak menikahi wanita Kristen menjadi isteri.
Dan karena pertimbangan lain itupula mengapa dahulu Umar bin Al-Khattab
pernah meminta aparatnya yang terlanjur menikahi wanita ahli kitab untuk segera
menceraikannya.

Ternyata selain pertimbangan syariah secara hitam putih, masih ada beberapa
pertimbangan lainnya, misalnya faktor gejolak sosial dari para wanita muslimah,
di mana mereka akan merasa 'ditinggalkan' kalau melihat laki-laki muslim
berbondong-bondong menikahi wanita yahudi dan kristen.

Lagian, kisah seorang mahasiswa Indonesia menikahi wanita Kristen KoptikMesir
kan cuma ada di novel dan film, kenyataaannya sih tidak pernah.

Alih-alihmenikahi wanita Kristen Koptik, menikahi wanita Mesir yang muslimah
saja nggakada yang berani. Padahal muslimah Mesir itu dijamin halalan thayyiban.
Salah seorang teman yang kuliah di Mesir menjawab, "Wah ustadz, bukan
masalah halalnya, tapi kalau kami menikahi muslimah Mesir, bingung nanti ngasih
makannyapakai apa?" Yang lain menimpali, "Buat kami cukuplah menikahi
mahasiswi asal Indonesia saja, biar bisa sama-sama makan sambel terasi dan
semur jengkol", tambahnya sambil terkekeh-kekeh. Wealah...


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu, 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,


Ahmad Sarwat. Lc