29 Februari 2008

Apakah ‘ADA’ itu benar-benar ada … ?


Menonton trilogy Matrix, terutama film pertama, membuat saya agak sedikit dipaksa untuk kembali mereview tentang paham materialisme. Paham ini sepenuhnya meyakini bahwa benda yang tampak adalah materi yang mutlak keberadaannya, alasannya ia bisa kita sentuh, ada tekstur halus atau kasar, ia bisa kita lihat, karenanya kita bisa menentukan warna, ia bisa kita baui, ada yang harum dan ada yang kurang sedap baunya, ia juga bisa kita rasakan, jadi kita mengenal rasa manis, asam, pedas, dan lainnya. Penganut paham ini ngotot karena semua telah terbuktikan secara ilmiah.

Segenap penghuni bumi saya yakini termasuk dalam kategori pengikut paham ini, termasuk saya. Hingga beberapa cuplikan pengalaman yang terserak dipikir-pikir ternyata memiliki kaitan yang tak terduga. Bagi saya ini lumayan membuat saya nggak bisa tidur malam itu.


Kepingan-Kepingan

Berawal dari Film Matrix I, di tokoh Neo diposisikan sebagai pemberontak dari dunia yang telah diciptakan untuknya dengan sempurna. Ia dan bahkan seluruh penghuni ‘dunia sempurna’ ciptaan itu tidak pernah mengetahui bahwa mereka hanyalah sesosok tubuh di dalam tabung. Tubuh yang tak pernah bergerak apalagi keluar dari tabungnya masing-masing itu dihubungkan secara begitu rumit dengan suatu pensuplay realita yang telah telah diatur sedemikian sempurna oleh sang tokoh antagonis di film tersebut.

Segenap penghuni ‘dunia sempurna’ itu menjalani hari-harinya sejak kecil hingga dewasa, renta, bahkan hingga dijemput kematian dalam sebuah skenario yang telah dirancang oleh Sang Perancang dengan begitu lengkap dan details hingga milisecon dan milimeternya. Padahal, sekali lagi, tiap-tiap diri mereka sebenarnya hanyalah sesosok jasad yang sedikit pun tak pernah beranjak dari dalam tabung. Sungguh mengerikan! Itu yang pertama kali terlintas di benak saya. Bagaimana jika saya adalah bagian dari penduduk ‘dunia sempurna’ itu? Dan Tuhan adalah Sang pensuplay realita ke alam pikiran kita, setiap saat, setiap hembusan napas, bahkan setiap persekian detiknya?

Jeda beberapa waktu ketika saya hampir melupakan Matrix. Ketika saat itu tengah begitu popular buku-buku Harun yahya, yaitu buku-buku Sains Populer Islami, ada sebuah judul salah satu bukunya “Mengenal ALLAH lewat akal” yang memaksa kembali untuk mengingat Matrix. Saya dihadapkan pada benang merah yang kurang lebih sama.

Berbeda dengan Matrix, setelah membaca buku ini saya hampir semalaman tidak bisa tidur. Bagaimana tidak, buku ini bahkan melibatkan keimanan saya, yang mau tidak mau membetot saya masuk jauh ke dalam suatu kenyataan mengerikan, ini semua benar! Ini semua logis dan masuk akal. Malam itu saya babak belur, layaknya in , tepatnya yang baru terjatuh di dasar jurang.

Dengan lugas dan gamblang Harun yahya menguraikan semua ini sekaligus mampu memporak-porandakan paham materialisme. Hmm … begini …



Mimpi

Pernah kita bermimpi? Saya tahu ini pertanyaan bodoh. Kita kadang bermimpi naik sepeda, lalu terjatuh, Atau kita bermimpi tengah berenang di kolam renang bersama teman-teman kita, atau kita mimpi dikejar-kejar seekor anjing? Mimpi tangan kita tersentuh api rokok? Atau bermimpi baru mendapat door price sebuah mobil mewah? Pasti kita mengalami ratusan ribu atau bahkan jutaan mimpi baik itu menyenangkan atau pun menakutkan selama hidup kita.

Ketika kita bermimpi naik sepeda dan terjatuh, apakah kita merasakan sakit? Tentu saja ? Bahkan kita mungkin menangis dalam mimpi itu. Mimpi berenang pun demikian, kita pasti merasakan sensasi segarnya di dalam air kolam. Dikejar anjing, napas kita tersengal dan tubuh bermandikan peluh, belum lagi perasaan takut yang hebat terhadap anjing yg mengejar kita. Semua begitu nyata. Panasnya api rokok pun begitu terasa ketika tersenggol tangan kita. Apakah benar Anda tengah main sepeda? Anda tengah berenang? Anda tengah dikejar anjing? Tidak! Anda saat itu tengah tertidur di atas ranjang Anda. Anda bahkan tidak bergerak ke mana pun, Anda hanya berbaring. Bahkan tidak ada rokok di sekitar Anda. Tapi mengapa semua yang kita alami begitu nyata?


Otak di ruang kedap cahaya bisa melihat

Otak kita benar-benar kedap cahaya, tapi kita kok bisa melihat? Bukankah dibutuhkan cahaya untuk dapat melihat sesuatu?

Otak kita juga terlindungi dengan kuat di dalam tengkorak kepala, mengapa ia mampu mengetahui bau, rasa, suhu dan suara?

Ya, semua kesan tersebut diperoleh otak atas laporan kelima indera yang kita miliki. Apakah benar otak kita yang menganalisa laporan tersebut? Bukankah otak hanya mampu menerima laporan tersebut sebagai data yang siap diolah? Lantas siapa yang mengolahnya kalau begitu?


Sosok di dalam kepala

Ya, ternyata ada sosok kecil yang tinggal di dalam otak kita. Dialah yang melihat dan menterjemahkan gambar yang dikirim ke otak, suara yang diterima dari indra pendengar, bau dari penciuman kita, rasa dari lidah kita, dan tentu saja tekstur dan suhu dari kulit kita. Siapakah sosok ini? Menurut Harun Yahya dalam bukunya, dialah ruh kita …

Layaknya menonton televisi, (bedanya bukan hanya gambar dan suara, melainkan juga plus bau, rasa, dan tekstur-suhu) sang ruh terus akan menyaksikan tayangannya dari waktu ke waktu hingga tiba saatnya tayangan televisi tersebut berakhir. Inilah mungkin yang kita kenal sebagai kematian.

Siapakah yang mengirim sinyal tayangan televisi yang kita terima itu? Tentu saja Allahu Rabbul ‘alamin. Dia bebas mengirim sinyal apa saja ke kita dan itu sifatnya sangat personal alias sinyal itu khusus buat kita seorang. Tinggal Dia akan menilai respon kita atas semua sinyal yang dia berikan, apakah sesuai dengan tuntunan-Nya atau tidak. Ini pasti direcord setiap detail oleh-Nya Sang Maha Melihat.

Tiap orang/mahluk pasti menerima sinyal yang khusus dan berbeda. Jadi dunia ini di mata setiap mahluk akan tampil sesuai sinyal yang ia terima. Luar biasa!

Apakah kita masih yakin bahwa dunia sekitar kita memang benar-benar ada? Ataukah hidup kita ini hanyalah merupakan mimpi yang panjang? Dan ketika kita terbangun kelak kita berada pada hari di mana setiap yang kita lakukan diperhitungkan oleh-Nya?

Apakah kita sebenarnya hanya sosok dalam tabung yang setiap detiknya menerima sinyal dari Sang Maha Pencipta. Bahkan kita tak pernah beranjak dalam tabung itu selama hidup kita


Sisi terliar dalam diri saya membisikkan : “Hey, ternyata dunia seisinya ini memang diciptakan Tuhan khusus untuk kamu seorang, Iman”. Jika memang demikian, hmm ... sungguh ini beban yang luar biasa berat …!
Wallahu’alam bish shawab …

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah berat nih ...

Anonim mengatakan...

DARI JUTAAN MANUSIA YANG HIDUP DIDUNIA INI, HANYA SECUIL YG BERANI MENGUTAK,ATIK ISI KEPALA, DAN PADA AKHIRNYA KITA HANYA "MENTOK" PADA SUBUAH ARTI DARI KALIMAT "CAHAYA"..SIAPAKAH PEMILIK CAHAYA ITU? DAN APAKAH ARTI CAHAYA PADA HAKEKATNYA...