24 Februari 2008

Ayat-Ayat Cinta the Movie, Keberhasilan Obsesi Seorang Hanung?


Tulisan ini bukanlah berisi penilaian atas sebuah karya film hasil besutan Hanung Bramantyo yang berjudul Ayat-Ayat Cinta (AAC). Ini juga bukan tulisan dalam rangka membanding-bandingkan sebuah karya sastra fenomenal milik Kang Abik dengan hasil filmnya. Dalam keduanya saya belum memiliki kapasitas yang pantas untuk menilai. Ini hanya sebuah tulisan sederhana tentang apresiasi seorang pembaca buku yang begitu menantikan tayangan film dari buku kesayangannya.


Kehebohan mengenai keberadaan Film AAC telah terasa sejak pertengahan tahun lalu. Sebagian besar pecinta novel ini dilanda demam karena penasaran bagaimana novel seindah ini akan divisualisasikan dalam sebuah film. Tidak sedikit yang langsung memvonis gagal namun banyak pula yang dalam kondisi harap-harap cemas, seperti yg saya alami sendiri. Pemilihan tokoh pun menjadi kontroversi yang sengit bagi pencinta berat novel AAC ini. Namun berkat sosialisasi tulisan ala ‘curhat’ sang sutradara diblog nya sedikit banyak meredam emosi para pembaca. Sang sutradara berkisah betapa rumit dan kompleksnya membuat film agama dengan beban luar biasa berat di bawah tekanan estimasi tinggi para pembaca novelnya. Hanung mulai banyak menuai simpati banyak pembaca. Ini berubah dari sekedar pembuatan film menjadi sebuah obsesi pribadi seorang Hanung akan hadirnya film agama yang elegan dalam frame idealitas.


Penayangan tanggal 19 Desember karena kendala teknis diundur menjadi 4 januari. Tanpa kejelasan tiba-tiba diumumkan baru akan tayang 14 Februari. Kontra meledak terutama di kalangan netters mengenai waktu launching yang sangat bertentangan dengan nilai Islam yaitu bertepatan dengan Hari Valentine. Seterusnya hanya gossip dan gonjang-ganjing yang terjadi, bukan sekedar hangat tapi sudah sedemikian panas. Hingga akhirnya 28 januari diputuskan sebagai tanggal launching resmi film ini.


Bersamaan dengan itu, penjualan novel ini pun masih tetap laris manis, entah sudah cetakan ke berapa puluh novel yang beredar saat ini. Sungguh ruh baru yang membangkitkan optimisme dunia baca di Indonesia yang tengah menggeliat bangun.


Premier film ini ternyata sudah digelar di beberapa bioskop sejak tanggal 20 Februari pada jam-jam khusus. Kemarin malam berbekal iklan di surat kabar harian saya dan adik saya nekat untuk menyaksikan tayangan film ini yang diperkirakan akan selesai tepat tengah malam. Dengan biaya karcis yang ekstra mahal, saya ikhlaskan malam itu demi menurunkan demam penasaran atas film ini yang saya alami selama beberapa bulan terakhir. Walhasil sisa bangku kosong yang ada begitu membahagiakan saya ketika saya tiba nyaris benar-benar terlambat di loket pembelian karcis. Macet bro!


Opening hingga sekitar 30an menit pertama film terasa mengalir tanpa greget. Dari awal terkesan Hanung mengarahkan cerita langsung ke pernikahan Fahri. Meski tidak runut bahasa visual yang dihadirkan cukup mampu menterjemahkan benak-benak imajinasi kami ketika membaca novelnya. Lompatan plot terasa agak jauh-jauh, dari perkenalan di trem, tawaran taaruf dari syekh, dialog Fahri dengan teman flatnya, hingga tiba-tiba akhirnya sudah terjadi proses taaruf Fahri dan Aisha. Tapi itu tidak terlalu masalah karena mungkin bagi Hanung justru setelah pernikahanlah cerita menjadi hidup dan penuh greget, dan itu memang terbukti (detail cerita lihat : Film AAC).


Karakter yang muncul di film ini tampil sangat manusiawi dan realistis, nuansa cukup berbeda akan kita peroleh ketika kita membaca novelnya yang cenderung perfeksionis dan nyaris tanpa cela. Secara ekstrim Hanung dengan berani mendowngrade Fahri menjadi sosok yang begitu lugu dan peragu namun bersih hatinya. Jauh dari sosok superior. Karenanya bagi penikmat film ini yang belum membaca novelnya mungkin akan sedikit banyak bertanya : Apa yang membuat sosok Fahri ini dapat dicintai oleh 4 orang wanita sekaligus? Namun adegan talaqi dan adegan saat Fahri memimpin rapat serta ketika dia menolong Noura semoga cukup membantu para penonton jenis ini untuk lebih mengenal Fahri.


Aisha tampil glamour namun matang dan bijaksana. Kecerdasan Aisha sebagaimana di novel tidak begitu tampak di film ini. Lagi-lagi ini sangat masuk akal dalam rangka memanusiakan sosok Aisha yang terlalu sempurna. Di sini bahkan Aisha terkesan agak manja.


Maria tampil luar biasa, dia menjelma hampir sama persis dengan yang dituturkan Kang Abik dalam novelnya. Adegan yang sangat menarik adalah ketika Maria melafalkan hafalan Surah Maryam, logat dan cara pelafadzan quran dilakukan begitu polos dan menarik. Bahasa gambar dari Hanung terhadap Maria juga patut diacungi jempol, antara lain symbol salib di tangan Maria serta ketika Maria bercermin mencoba-coba memakai kerudung, adegan ini berbicara begitu banyak kepada penonton.


Nurul tampil dalam kadar sekedarnya namun cukup mengisi cerita secara keseluruhan. Sosok ketua Wihdah serta anak seorang Kyai besar juga tak terlalu menonjol di film ini.


Semua penokohan bagi saya terasa cukup proporsional terhadap keseluruhan alur cerita.


Secara teknis, kualitas gambar yang ditampilkan terbilang menarik dan cukup memuaskan. Namun kesan Megah dari film ini agak kurang, mungkin ini karena view ruangan setiap adegan terkesan terbatas dan sempit karena terbatasnya setting dan lokasi yang sama-sama kita ketahui menurut Hanung merupakan kendala utama pembuatan film ini.
Satu hal yang cukup mengganggu kita untuk menikmati film ini adalah kurang softnya hasil editing antar adegan. Sering potongan terjadi begitu kasar seolah dipotong secara tergesa. Ini cukup mengganggu karena berulang kali muncul.


Sebagai sebuah film romantis dengan muatan Agama yang begitu berat, Hanung terbilang berani bermain dengan symbol-simbol Agama. Hanung seolah malah dengan bangga memproklamirkan film ini sebagai film agama. Tak banyak sutradara muda seperti Hanung memiliki mental berani seperti itu, ini sangat patut kita apresiasi dengan setinggi-tingginya. Balutan jilbab dan kerudung hampir semua pemain wanita kenakan, begitu pun baju koko bagi prianya. Kumandang Quran dan shalawat pun bergema sepanjang film ini. Atmosfer yang begitu pekat akan nuansa Islam mampu menghadirkan suasana berbeda ketika kita menikmati film ini. Terasa begitu hidup dan memiliki ruh, bukan sekedar topeng layaknya sinetron-sinetron Ramadhan di televisi kita.


Fenomena soundtrack film yang tak kalah booming atau bahkan jauh lebih booming dibandingkan filmnya sendiri tengah menggejala di dunia perfilman kita. Wajar saja, karena kemajuan industri musik di tanah air telah melampaui kebangkitan film nasional yang jauh tertinggal di belakangnya. Hal ini pula yang terjadi pada film ini. Lantunan vocal Rossa dan Sherina telah lebih dulu akrab di telinga bahkan sebelum film ini ditayangkan. Kemunculan lagu-lagu ini membawa saya tarik tersendiri pada setiap adegan yang menyertainya. Lagi-lagi kurang rapihnya proses editing membuat potongan 2 buah lagu karya Melly dan sebuah lagu Sherina ini kurang maksimal bisa dinikmati. Ada kesan dipotong sekenanya dan dijejalkan masuk ke dalam beberapa adegan.


Demam penasaran selama beberapa bulan ini akhirnya mampu terobati oleh sebuah film yang memang ternyata layak untuk ditunggu. Ending cerita yang begitu menyentuh walaupun berbeda dengan versi novel sama sekali tidak mengecewakan.


Buat Hanung yang telah membuat film ini dari hati, semoga hasil karyanya ini dapat diterima hingga ke dalam hati penontonnya kelak. Obsesi Sang Sutrada? Ya sepertinya Hanung berhasil mewujudkannya :)

6 komentar:

Anonim mengatakan...

kereeeeeen

Iman mengatakan...

Makacih

Anonim mengatakan...

Nice words mas!:)
trimakasih juga udah di link.. smoga silaturahim ttp terjaga..

Iman mengatakan...

amien, ane boleh nggak tanya2 tips bikin blog yg bagus ke Dion? saya harus belajar banyak nih :)

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum Wr.Wb. gimana kabarnya ente? suka harry poter juga ya? klo ayat2 cinta ane dah baca bukunya bagus banget, tapi belom nonton filmnya gak sempet. ane sekarang dah punya momongan (2,5 bulan), cewe jadi lagi betah2nya dirumah gak sempet kemana-mana.
idris

Iman mengatakan...

Alaikum salam, wah selamet deh udah dapat momongan. Ane udah 2x nonton AAC, bagus kok nonton aja bareng istri ente :)